Sultan Salahuddin Al-Ayyubi, Perjuangan Heroik di Tanah Palestina
Tag
Konon guna membangkitkan kembali ruh jihad atau semangat di
kalangan Islam yang saat itu telah tidur nyenyak dan telah lupa akan tongkat
estafet yang telah diwariskan oleh Nabi Muhammad saw., maka Salahuddinlah yang
mencetuskan ide dirayakannya kelahiran Nabi Muhammad saw. Melalui media
peringatan itu dibeberkanlah sikap ksatria dan kepahlawanan pantang menyerah
yang ditunjukkan melalui "Siratun Nabawiyah". Hingga kini peringatan
itu menjadi tradisi dan membudaya di kalangan umat Islam.
, namanya telah terpateri di hati sanubari pejuang Muslim
yang memiliki jiwa patriotik dan heroik, telah terlanjur terpahat dalam sejarah
perjuangan umat Islam karena telah mampu menyapu bersih, menghancurleburkan
tentara salib yang merupakan gabungan pilihan dari seluruh benua Eropa.
Konon guna membangkitkan kembali ruh jihad atau semangat di
kalangan Islam yang saat itu telah tidur nyenyak dan telah lupa akan tongkat
estafet yang telah diwariskan oleh Nabi Muhammad saw., maka Salahuddinlah yang
mencetuskan ide dirayakannya kelahiran Nabi Muhammad saw. Melalui media peringatan
itu dibeberkanlah sikap ksatria dan kepahlawanan pantang menyerah yang
ditunjukkan melalui "Siratun Nabawiyah". Hingga kini peringatan itu
menjadi tradisi dan membudaya di kalangan umat Islam.
Jarang sekali dunia menyaksikan sikap patriotik dan heroik
bergabung menyatu dengan sifat perikemanusian seperti yang terdapat dalam diri
pejuang besar itu. Rasa tanggung jawab terhadap agama (Islam) telah ia baktikan
dan buktikan dalam menghadapi serbuan tentara ke tanah suci Palestina selama
dua puluh tahun, dan akhirnya dengan kegigihan, keampuhan dan kemampuannya
dapat memukul mundur tentara Eropa di bawah pimpinan Richard Lionheart dari
Inggris.
Jarang sekali dunia menyaksikan sikap patriotik dan heroik
bergabung menyatu dengan sifat perikemanusian seperti yang terdapat dalam diri
pejuang besar itu. Rasa tanggung jawab terhadap agama (Islam) telah ia baktikan
dan buktikan dalam menghadapi serbuan tentara ke tanah suci Palestina selama
dua puluh tahun, dan akhirnya dengan kegigihan, keampuhan dan kemampuannya
dapat memukul mundur tentara Eropa di bawah pimpinan Richard Lionheart dari
Inggris.
Hendaklah diingat, bahwa Perang Salib adalah peperangan yang
paling panjang dan dahsyat penuh kekejaman dan kebuasan dalam sejarah umat
manusia, memakan korban ratusan ribu jiwa, di mana topan kefanatikan membabi
buta dari Kristen Eropa menyerbu secara menggebu-gebu ke daerah Asia Barat yang
Islam.
Seorang penulis Barat berkata, "Perang Salib merupakan
salah satu bagian sejarah yang paling gila dalam riwayat kemanusiaan. Umat
Nasrani menyerbu kaum Muslimin dalam ekspedisi bergelombang selama hampir tiga
ratus tahun sehingga akhirnya berkat kegigihan umat Islam mereka mengalami
kegagalan, berakibat kelelahan dan keputusasaan. Seluruh Eropa sering kehabisan
manusia, daya dan dana serta mengalami kebangkrutan sosial, bila bukan
kehancuran total. Berjuta-juta manusia yang tewas dalam medan perang, sedangkan bahaya kelaparan,
penyakit dan segala bentuk malapetaka yang dapat dibayangkan berkecamuk sebagai
noda yang melekat pada muka tentara Salib. Dunia Nasrani Barat saat itu memang
dirangsang ke arah rasa fanatik agama yang membabi buta oleh Peter The Hermit
dan para pengikutnya guna membebaskan tanah suci Palestina dari tangan kaum
Muslimin".
"Setiap cara dan jalan ditempuh", kata Hallam guna
membangkitkan kefanatikan itu. Selagi seorang tentara Salib masih menyandang
lambang Salib, mereka berada di bawah lindungan gereja serta dibebaskan dari
segala macam pajak dan juga untuk berbuat dosa.
Peter The Hermit sendiri memimpin gelombang serbuan yang
kedua terdiri dari empat puluh ribu orang. Setelah mereka sampai ke kota Malleville mereka menebus kekalahan gelombang serbuan
pertama dengan menghancurkan kota
itu, membunuh tujuh ribu orang penduduknya yang tak bersalah, dan melampiaskan
nafsu angkaranya dengan segala macam kekejaman yang tak terkendali. Gerombolan
manusia fanatik yang menamakan dirinya tentara Salib itu mengubah tanah
Hongaria dan Bulgaria
menjadi daerah-daerah yang tandus.
"Bilamana mereka telah sampai ke Asia Kecil, mereka
melakukan kejahatan-kejahatan dan kebuasan-kebuasan yang membuat alam semesta
menggeletar" demikian tulis pengarang Perancis Michaud.
Gelombang serbuan tentara Salib ketiga yang dipimpin oeh
seorang Rahib Jerman, menurut pengarang Gibbon terdiri dari sampah masyarakat
Eropa yang paling rendah dan paling dungu. Bercampur dengan kefanatikan dan
kedunguan mereka itu izin diberikan guna melakukan perampokan, perzinaan dan
bermabuk-mabukan. Mereka melupakan Konstantin dan Darussalam dalam kemeriahan
pesta cara gila-gilaan dan perampokan, pengrusakan dan pembunuhan yang
merupakan peninggalan jelek dari mereka atas setiap daerah yang mereka lalui"
kata Marbaid.
Gelombang serbuan tentara Salib keempat yang diambil dari
Eropa Barat, menurut keterangan penulis Mill "terdiri dari gerombolan yang
nekat dan ganas. Massa
yang membabi buta itu menyerbu dengan segala keganasannya menjalankan pekerjaan
rutinnya merampok dan membunuh. Tetapi akhirnya mereka dapat dihancurkan oleh
tentara Hongaria yang naik pitam dan telah mengenal kegila-gilaan tentara Salib
sebelumnya.
Tentara Salib telah mendapat sukses sementara dengan
menguasai sebagian besar daerah Syria
dan Palestina termasuk kota
suci Yerusalem. Tetapi Kemenangan-kemenangan mereka ini telah disusul dengan
keganasan dan pembunuhan terhadap kaum Muslimin yang tak bersalah yang melebihi
kekejaman Jengis Khan dan Hulagu Khan.
John Stuart Mill ahli sejarah Inggris kenamaan, mengakui
pembunuhan-pembunuhan massal penduduk Muslim ini pada waktu jatuhnya kota Antioch.
Mill menulis: "Keluruhan usia lanjut, ketidakberdayaan anak-anak dan
kelemahan kaum wanita tidak dihiraukan sama sekali oleh tentara Latin yang
fanatik itu. Rumah kediaman tidak diakui sebagai tempat berlindung dan
pandangan sebuah masjid merupakan pembangkit nafsu angkara untuk melakukan
kekejaman. Tentara Salib menghancurleburkan kota-kota Syria, membunuh
penduduknya dengan tangan dingin, dan membakar habis perbendaharaan kesenian
dan ilmu pengetahuan yang sangat berharga, termasuk "Kutub Khanah"
(Perpustakaan) Tripolis yang termasyhur itu. "Jalan raya penuh aliran
darah, sehingga keganasan itu kehabisan tenaga," kata Stuart Mill. Mereka
yang cantik rupawan disisihkan untuk pasaran budak belian di Antioch. Tetapi
yang tua dan yang lemah dikorbankan di atas panggung pembunuhan.
Lewat pertengahan abad ke-12 Masehi ketika tentara Salib
mencapai puncak kemenangannya dan Kaisar Jerman, Perancis serta Richard
Lionheart Raja Inggris telah turun ke medan pertempuran untuk turut merebut
tanah suci Baitul Maqdis, gabungan tentara Salib ini disambut oleh Sultan
Shalahuddin al Ayyubi (biasa disebut Saladin), seorang Panglima Besar Muslim
yang menghalau kembali gelombang serbuan umat Nasrani yang datang untuk maksud
menguasai tanah suci. Dia tidak saja sanggup untuk menghalau serbuan tentara
Salib itu, akan tetapi yang dihadapi mereka sekarang ialah seorang yang
berkemauan baja serta keberanian yang luar biasa yang sanggup menerima
tantangan dari Nasrani Eropa.
Siapakah Shalahuddin?
Bagaimana latar belakang kehidupannya?
Shalahuddin dilahirkan pada tahun 1137 Masehi. Pendidikan
pertama diterimanya dari ayahnya sendiri yang namanya cukup tersohor, yakni Najamuddin
al-Ayyubi. Di samping itu pamannya yang terkenal gagah berani juga memberi
andil yang tidak kecil dalam membentuk kepribadian Shalahuddin, yakni Asaduddin
Sherkoh. Kedua-duanya adalah pembantu dekat Raja Syria Nuruddin Mahmud.
Asaduddin Sherkoh, seorang jenderal yang gagah berani,
adalah komandan Angkatan Perang Syria
yang telah memukul mundur tentara Salib baik di Syria maupun di Mesir. Sherkoh
memasuki Mesir dalam bulan Februari 1167 Masehi untuk menghadapi perlawanan
Shawer seorang menteri khalifah Fathimiyah yang menggabungkan diri dengan
tentara Perancis. Serbuan Sherkoh yang gagah berani itu serta kemenangan akhir
yang direbutnya dari Babain atas gabungan tentara Perancis dan Mesir itu
menurut Michaud “memperlihatkan kehebatan strategi tentara yang bernilai
ringgi.”
Ibnu Aziz AI Athir menulis tentang serbuan panglima Sherkoh
ini sebagai berikut: "Belum pernah sejarah mencatat suatu peristiwa yang
lebih dahsyat dari penghancuran tentara gabungan Mesir dan Perancis dari pantai
Mesir, oleh hanya seribu pasukan berkuda".
Setelah ia berhasil menduduki Damaskus dia tidak terus
memasuki istana rajanya Nuruddin Mahmud, melainkan bertempat di rumah orang
tuanya. Umat Islam sebaliknya sangat kecewa akan tingkah laku Malikus Saleh. dan
mengajukan tuntutan kepada Shalahuddin untuk memerintah daerah mereka. Tetapi
Shalahuddin hanya mau memerintah atas nama raja muda Malikus Saleh. Ketika
Malikus Saleh meninggal dunia pada tahun 1182 Masehi, kekuasaan Shalahuddin
telah diakui oleh semua raja-raja di Asia Barat.
Diadakanlah gencatan senjata antara Sultan Shalahuddin dan
tentara Perancis di Palestina, tetapi menurut ahli sejarah Perancis Michaud:
"Kaum Muslimin memegang teguh perjanjiannya, sedangkan golongan Nasrani
memberi isyarat untuk memulai lagi peperangan." Berlawanan dengan
syarat-syarat gencatan senjata, penguasa Nasrani Renanud atau Reginald dari
Castillon menyerang suatu kafilah Muslim yang lewat di dekat istananya,
membunuh sejumlah anggotanya dan merampas harta bendanya.
Lantaran peristiwa itu Sultan sekarang bebas untuk
bertindak. Dengan siasat perang yang tangkas Sultan Shalahuddin mengurung
pasukan musuh yang kuat itu di dekat bukit Hittin pada tahun 1187 M serta
menghancurkannya dengan kerugian yang amat besar. Sultan tidak memberikan
kesempatan lagi kepada tentara Nasrani untuk menyusun kekuatan kembali dan
melanjutkan serangannya setelah kemenangan di bukit Hittin. Dalam waktu yang
sangat singkat dia telah dapat merebut kembali sejumlah kota yang diduduki kaum
Nasrani, termasuk kota-kota Naplus, Jericho, Ramlah, Caosorea, Arsuf, Jaffa dan
Beirut. Demikian juga Ascalon telah dapat diduduki Shalahuddin sehabis
pertempuran yang singkat yang diselesaikan dengan syarat-syarat yang sangat
ringan oleh Sultan yang berhati mulia itu.
Sekarang Shalahuddin menghadapkan perhatian sepenuhnya
terhadap kota Jerusalem yang diduduki tentara Salib dengan
kekuatan melebihi enam puluh ribu prajurit. Ternyata tentara salib ini tidak
sanggup menahan serbuan pasukan Sultan dan menyerah pada tahun 1193. Sikap
penuh perikemanusiaan Sultan Shalahuddin dalam memperlakukan tentara Nasrani
itu merupakan suatu gambaran yang berbeda seperti langit dan bumi, dengan
perlakuan dan pembunuhan secara besar-besaran yang dialami kaum Muslimin ketika
dikalahkan oleh tentara Salib sekitar satu abad sebelumnya.
Menurut penuturan ahli sejarah Michaud, pada waktu Jerusalem
direbut oleh tentara Salib pada tahun 1099 Masehi, kaum Muslimin dibunuh secara
besar-besaran di jalan-jalan raya dan di rumah-rumah kediaman. Jerusalem tidak memiliki tempat berlindung
bagi umat Islam yang menderita kekalahan itu. Ada yang melarikan diri dari cengkeraman
musuh dengan menjatuhkan diri dari tembok-tembok yang tinggi, ada yang lari
masuk istana, menara-menara, dan tak kurang pula yang masuk masjid. Tetapi
mereka tidak terlepas dari kejaran tentara Salib. Tentara Salib yang menduduki
masjid Umar di mana kaum Muslimin dapat bertahan untuk waktu yang singkat.
mengulangl lagi tindakan-tindakan yang penuh kekejaman. Pasukan infanteri dan kavaleri
menyerbu kaum pengungsi yang lari tunggang langgang. Di tengah-tengah
kekacaubalauan kaum peenyerbu itu yang terdengar hanyalah erangan dan teriakan
maut. Pahlawan Salib yang berjasa itu berjalan menginjak-injak tumpukan mayat
Muslimin, mengejar mereka yang masih berusaha dengan sia-sia melarikan diri.
Raymond d' Angiles yang menyaksikan peristiwa itu mengatakan bahwa “di serambi
masjid mengalir darah sampai setinggi lutut, dan sampai ke tali tukang kuda
prajurit.”
Penyembelihan manusia biadab ini berhenti sejenak, ketika
tentara Salib berkumpul untuk melakukan misa syukur atas kemenangan yang telah
mereka peroleh. Tetapi setelah beribadah itu, mereka melanjutkan kebiadaban
dengan keganasan. “Semua tawanan” kata Michaud, “yang tertolong nasibnya karena
kelelahan tentara Salib yang semula tertolong karena mengharapkan diganti
dengan uang tebusan yang besar, semua dibunuh dengan tanpa ampun. Kaum Muslimin
terpaksa menjatuhkan diri mereka dari menara dan rumah kediaman; mereka dibakar
hidup-hidup, mereka diseret dari tempat persembunyiannya di bawah tanah; mereka
dipancing dari tempat perlindungannya agar keluar untuk dibunuh di atas
timbunan mayat.”
Cucuran air mata kaum wanita, pekikan anak-anak yang tak
bersalah, bahkan juga kenangan dari tempat di mana Nabi lsa memaafkan
algojo-algojonya, tidak dapat meredakan nafsu angkara tentara yang menang itu.
Penyembelihan kejam itu berlangsung selama seminggu. Dan sejumlah kecil yang
dapat melarikan diri dari pembunuhan jatuh menjadi budak yang hina dina.
Seorang ahli sejarah Barat, Mill menambahkan pula: “Telah
diputuskan, bahwa kaum Muslimin tidak boleh diberi ampun. Rakyat yang
ditaklukkan oleh karena itu harus diseret ke tempat-tempat umum untuk dibunuh
hidup-hidup. Ibu-ibu dengan anak yang melengket pada buah dadanya, anak-anak
laki-laki dan perempuan, seluruhnya disembelih. Lapangan-Iapangan kota,
jalan-jalan raya, bahkan pelosok-pelosok Jerusalem yang sepi telah dipenuhi
oleh bangkai-bangkai mayat laki-laki dan perempuan, dan anggota tubuh
anak-anak. Tiada hati yang menaruh belas kasih atau teringat untuk berbuat
kebajikan.”
Demikianlah rangkaian riwayat pembantaian secara masal kaum
Muslimin di Jerusalem sekira satu abad sebelum Sultan Shalahuddin merebut
kembali kota suci, di mana lebih dari tujuh puluh ribu umat Islam yang tewas.
Sebaliknya, ketika Sultan Shalahuddin merebut kembali kota
Jerusalem pada tahun 1193 M, dia memberi pengampunan umum kepada penduduk
Nasrani untuk tinggal di kota itu. Hanya para prajurit Salib yang diharuskan
meninggalkan kota dengan pembayaran uang tebusan yang ringan. Bahkan sering
terjadi bahwa Sultan Shalahuddin yang mengeluarkan uang tebusan itu dari
kantongnya sendiri dan diberikannya pula kemudian alat pengangkutan. Sejumlah
kaum wanita Nasrani dengan mendukung anak-anak mereka datang menjumpai Sultan
dengan penuh tangis seraya berkata: “Tuan saksikan kami berjalan kaki, para
istri serta anak-anak perempuan para prajurit yang telah menjadi tawanan Tuan,
kami ingin meninggalkan negeri ini untuk selama-lamanya. Para prajurit itu
adalah tumpuan hidup kami. Bila kami kehilangan mereka akan hilang pulalah
harapan kami. Bilamana Tuan serahkan mereka kepada kami mereka akan dapat
meringankan penderitaan kami dan kami akan mempunyai sandaran hidup.”
Sultan Shalahuddin sangat tergerak hatinya dengan permohonan
mereka itu dan dibebaskannya para suami kaum wanita Nasrani itu. Mereka yang
berangkat meninggalkan kota, diperkenankan membawa seluruh harta bendanya.
Sikap dan tindakan Sultan Shalahuddin yang penuh kemanusiaan serta dari jiwa
yang mulia ini memperlihatkan suasana kontras yang sangat mencolok dengan
penyembelihan kaum Muslimin di kota Jerusalem dalam tangan tentara Salib satu
abad sebe1umnya. Para komandan pasukan tentara Shalahuddin saling berlomba
dalam memberikan pertolongan kepada tentara Salib yang telah dikalahkan itu.
Para pelarian Nasrani dari kota Jerusalem itu tidaklah
mendapat perlindungan oleh kota-kota yang dikuasai kaum Nasrani. “Banyak kaum
Nasrani yang meninggalkan Jerusalem,” kata Mill, pergi menuju Antioch, tetapi
panglima Nasrani Bohcmond tidak saja menolak memberikan perlindungan kepada
mcreka, bahkan merampasi harta benda mereka. Maka pergilah mereka menuju ke
tanah kaum Muslimin dan diterima di sana dengan baik. Michaud mcmberikan
keterangan yang panjang lebar tentang sikap kaum Nasrani yang tak
berperikemanusiaan ini terhadap para pelarian Nasrani dari Jerusalem. Tripoli
menutup pintu kotanya dari pengungsi ini, kata Michaud. “Seorang wanita karena
putus asa melemparkan anak bayinya ke dalam laut sambil menyumpahi kaum Nasrani
yang menolak untuk memberikan pertolongan kepadanya,” kata Michaud. Sebaliknya
Sultan Shalahuddin bersikap penuh timbang rasa terhadap kaum Nasrani yang
ditaklukkan itu. Sebagai pertimbangan terhadap perasaan mereka, dia tidak memasuki
Jerusalem sebelum mereka meninggalkannya.
Dari Jerusalem Sultan Shalahuddin mengarahkan pasukannya ke
kota Tyre, di mana tentara Salib yang tidak tahu berterima kasih terhadap
Sultan Shalahuddin yang telah mengampuninya di Jerusalem, menyusun kekuatan
kembali untuk melawan Sultan. Sultan Shalahuddin menaklukkan sejumlah kota yang
diduduki oleh tentara Salib di pinggir pantai, termasuk kota Laodicea, Jabala,
Saihun, Becas, dan Debersak. Sultan telah melepas hulu balang Perancis bernama
Guy de Lusignan dengan perjanjian, bahwa dia harus segera pulang ke Eropa.
Tetapi tidak lama setelah pangeran Nasrani yang tak tahu berterima kasih ini
mendapatkan kebebasannya, dia mengingkari janjinya dan mengumpulkan suatu
pasukan yang cukup besar dan mengepung kota Ptolemais.
Jatuhnya Jerusalem ke tangan kaum Muslimin menimbulkan
kegusaran besar di kalangan dunia Nasrani. Sehingga mereka segera mengirimkan
bala bantuan dari seluruh pelosok Eropa. Kaisar Jerman dan Perancis serta raja
Inggris Richard Lion Heart segera berangkat dengan pasukan yang besar untuk
merebut tanah suci dari tangan kaum Muslimin. Mereka mengepung kota Akkra yang
tidak dapat direbut selama berapa bulan. Dalam sejumlah pertempuran terbuka,
tentara Salib mengalami kekalahan dengan meninggalkan korban yang cukup besar.
Setelah ia berhasil menduduki Damaskus dia tidak terus
memasuki istana rajanya Nuruddin Mahmud, melainkan bertempat di rumah orang
tuanya. Umat Islam sebaliknya sangat kecewa akan tingkah laku Malikus Saleh.
dan mengajukan tuntutan kepada Shalahuddin untuk memerintah daerah mereka.
Tetapi Shalahuddin hanya mau memerintah atas nama raja muda Malikus Saleh.
Ketika Malikus Saleh meninggal dunia pada tahun 1182 Masehi, kekuasaan
Shalahuddin telah diakui oleh semua raja-raja di Asia Barat.
Diadakanlah gencatan senjata antara Sultan Shalahuddin dan
tentara Perancis di Palestina, tetapi menurut ahli sejarah Perancis Michaud:
"Kaum Muslimin memegang teguh perjanjiannya, sedangkan golongan Nasrani
memberi isyarat untuk memulai lagi peperangan." Berlawanan dengan
syarat-syarat gencatan senjata, penguasa Nasrani Renanud atau Reginald dari
Castillon menyerang suatu kafilah Muslim yang lewat di dekat istananya,
membunuh sejumlah anggotanya dan merampas harta bendanya.
Lantaran peristiwa itu Sultan sekarang bebas untuk
bertindak. Dengan siasat perang yang tangkas Sultan Shalahuddin mengurung
pasukan musuh yang kuat itu di dekat bukit Hittin pada tahun 1187 M serta
menghancurkannya dengan kerugian yang amat besar. Sultan tidak memberikan
kesempatan lagi kepada tentara Nasrani untuk menyusun kekuatan kembali dan
melanjutkan serangannya setelah kemenangan di bukit Hittin. Dalam waktu yang
sangat singkat dia telah dapat merebut kembali sejumlah kota yang diduduki kaum
Nasrani, termasuk kota-kota Naplus, Jericho, Ramlah, Caosorea, Arsuf, Jaffa dan
Beirut. Demikian juga Ascalon telah dapat diduduki Shalahuddin sehabis
pertempuran yang singkat yang diselesaikan dengan syarat-syarat yang sangat
ringan oleh Sultan yang berhati mulia itu.
Sekarang Shalahuddin menghadapkan perhatian sepenuhnya
terhadap kota Jerusalem yang diduduki tentara Salib dengan kekuatan melebihi
enam puluh ribu prajurit. Ternyata tentara salib ini tidak sanggup menahan
serbuan pasukan Sultan dan menyerah pada tahun 1193. Sikap penuh perikemanusiaan
Sultan Shalahuddin dalam memperlakukan tentara Nasrani itu merupakan suatu
gambaran yang berbeda seperti langit dan bumi, dengan perlakuan dan pembunuhan
secara besar-besaran yang dialami kaum Muslimin ketika dikalahkan oleh tentara
Salib sekitar satu abad sebelumnya.
Menurut penuturan ahli sejarah Michaud, pada waktu Jerusalem
direbut oleh tentara Salib pada tahun 1099 Masehi, kaum Muslimin dibunuh secara
besar-besaran di jalan-jalan raya dan di rumah-rumah kediaman. Jerusalem tidak
memiliki tempat berlindung bagi umat Islam yang menderita kekalahan itu. Ada
yang melarikan diri dari cengkeraman musuh dengan menjatuhkan diri dari
tembok-tembok yang tinggi, ada yang lari masuk istana, menara-menara, dan tak
kurang pula yang masuk masjid. Tetapi mereka tidak terlepas dari kejaran
tentara Salib. Tentara Salib yang menduduki masjid Umar di mana kaum Muslimin
dapat bertahan untuk waktu yang singkat. mengulangl lagi tindakan-tindakan yang
penuh kekejaman. Pasukan infanteri dan kavaleri menyerbu kaum pengungsi yang
lari tunggang langgang. Di tengah-tengah kekacaubalauan kaum peenyerbu itu yang
terdengar hanyalah erangan dan teriakan maut. Pahlawan Salib yang berjasa itu
berjalan menginjak-injak tumpukan mayat Muslimin, mengejar mereka yang masih
berusaha dengan sia-sia melarikan diri. Raymond d' Angiles yang menyaksikan
peristiwa itu mengatakan bahwa “di serambi masjid mengalir darah sampai
setinggi lutut, dan sampai ke tali tukang kuda prajurit.”
Penyembelihan manusia biadab ini berhenti sejenak, ketika
tentara Salib berkumpul untuk melakukan misa syukur atas kemenangan yang telah
mereka peroleh. Tetapi setelah beribadah itu, mereka melanjutkan kebiadaban
dengan keganasan. “Semua tawanan” kata Michaud, “yang tertolong nasibnya karena
kelelahan tentara Salib yang semula tertolong karena mengharapkan diganti
dengan uang tebusan yang besar, semua dibunuh dengan tanpa ampun. Kaum Muslimin
terpaksa menjatuhkan diri mereka dari menara dan rumah kediaman; mereka dibakar
hidup-hidup, mereka diseret dari tempat persembunyiannya di bawah tanah; mereka
dipancing dari tempat perlindungannya agar keluar untuk dibunuh di atas
timbunan mayat.”
Cucuran air mata kaum wanita, pekikan anak-anak yang tak
bersalah, bahkan juga kenangan dari tempat di mana Nabi lsa memaafkan
algojo-algojonya, tidak dapat meredakan nafsu angkara tentara yang menang itu.
Penyembelihan kejam itu berlangsung selama seminggu. Dan sejumlah kecil yang
dapat melarikan diri dari pembunuhan jatuh menjadi budak yang hina dina.
Seorang ahli sejarah Barat, Mill menambahkan pula: “Telah
diputuskan, bahwa kaum Muslimin tidak boleh diberi ampun. Rakyat yang
ditaklukkan oleh karena itu harus diseret ke tempat-tempat umum untuk dibunuh
hidup-hidup. Ibu-ibu dengan anak yang melengket pada buah dadanya, anak-anak
laki-laki dan perempuan, seluruhnya disembelih. Lapangan-Iapangan kota,
jalan-jalan raya, bahkan pelosok-pelosok Jerusalem yang sepi telah dipenuhi
oleh bangkai-bangkai mayat laki-laki dan perempuan, dan anggota tubuh
anak-anak. Tiada hati yang menaruh belas kasih atau teringat untuk berbuat
kebajikan.”
Demikianlah rangkaian riwayat pembantaian secara masal kaum
Muslimin di Jerusalem sekira satu abad sebelum Sultan Shalahuddin merebut
kembali kota suci, di mana lebih dari tujuh puluh ribu umat Islam yang tewas.
Sebaliknya, ketika Sultan Shalahuddin merebut kembali kota
Jerusalem pada tahun 1193 M, dia memberi pengampunan umum kepada penduduk
Nasrani untuk tinggal di kota itu. Hanya para prajurit Salib yang diharuskan
meninggalkan kota dengan pembayaran uang tebusan yang ringan. Bahkan sering
terjadi bahwa Sultan Shalahuddin yang mengeluarkan uang tebusan itu dari
kantongnya sendiri dan diberikannya pula kemudian alat pengangkutan. Sejumlah
kaum wanita Nasrani dengan mendukung anak-anak mereka datang menjumpai Sultan dengan
penuh tangis seraya berkata: “Tuan saksikan kami berjalan kaki, para istri
serta anak-anak perempuan para prajurit yang telah menjadi tawanan Tuan, kami
ingin meninggalkan negeri ini untuk selama-lamanya. Para prajurit itu adalah
tumpuan hidup kami. Bila kami kehilangan mereka akan hilang pulalah harapan
kami. Bilamana Tuan serahkan mereka kepada kami mereka akan dapat meringankan
penderitaan kami dan kami akan mempunyai sandaran hidup.”
Sultan Shalahuddin sangat tergerak hatinya dengan permohonan
mereka itu dan dibebaskannya para suami kaum wanita Nasrani itu. Mereka yang
berangkat meninggalkan kota, diperkenankan membawa seluruh harta bendanya.
Sikap dan tindakan Sultan Shalahuddin yang penuh kemanusiaan serta dari jiwa
yang mulia ini memperlihatkan suasana kontras yang sangat mencolok dengan
penyembelihan kaum Muslimin di kota Jerusalem dalam tangan tentara Salib satu
abad sebe1umnya. Para komandan pasukan tentara Shalahuddin saling berlomba
dalam memberikan pertolongan kepada tentara Salib yang telah dikalahkan itu.
Para pelarian Nasrani dari kota Jerusalem itu tidaklah
mendapat perlindungan oleh kota-kota yang dikuasai kaum Nasrani. “Banyak kaum
Nasrani yang meninggalkan Jerusalem,” kata Mill, pergi menuju Antioch, tetapi
panglima Nasrani Bohcmond tidak saja menolak memberikan perlindungan kepada
mcreka, bahkan merampasi harta benda mereka. Maka pergilah mereka menuju ke
tanah kaum Muslimin dan diterima di sana dengan baik. Michaud mcmberikan
keterangan yang panjang lebar tentang sikap kaum Nasrani yang tak
berperikemanusiaan ini terhadap para pelarian Nasrani dari Jerusalem. Tripoli
menutup pintu kotanya dari pengungsi ini, kata Michaud. “Seorang wanita karena
putus asa melemparkan anak bayinya ke dalam laut sambil menyumpahi kaum Nasrani
yang menolak untuk memberikan pertolongan kepadanya,” kata Michaud. Sebaliknya
Sultan Shalahuddin bersikap penuh timbang rasa terhadap kaum Nasrani yang
ditaklukkan itu. Sebagai pertimbangan terhadap perasaan mereka, dia tidak
memasuki Jerusalem sebelum mereka meninggalkannya.
Dari Jerusalem Sultan Shalahuddin mengarahkan pasukannya ke
kota Tyre, di mana tentara Salib yang tidak tahu berterima kasih terhadap
Sultan Shalahuddin yang telah mengampuninya di Jerusalem, menyusun kekuatan
kembali untuk melawan Sultan. Sultan Shalahuddin menaklukkan sejumlah kota yang
diduduki oleh tentara Salib di pinggir pantai, termasuk kota Laodicea, Jabala,
Saihun, Becas, dan Debersak. Sultan telah melepas hulu balang Perancis bernama
Guy de Lusignan dengan perjanjian, bahwa dia harus segera pulang ke Eropa.
Tetapi tidak lama setelah pangeran Nasrani yang tak tahu berterima kasih ini
mendapatkan kebebasannya, dia mengingkari janjinya dan mengumpulkan suatu
pasukan yang cukup besar dan mengepung kota Ptolemais.
Jatuhnya Jerusalem ke tangan kaum Muslimin menimbulkan
kegusaran besar di kalangan dunia Nasrani. Sehingga mereka segera mengirimkan
bala bantuan dari seluruh pelosok Eropa. Kaisar Jerman dan Perancis serta raja
Inggris Richard Lion Heart segera berangkat dengan pasukan yang besar untuk
merebut tanah suci dari tangan kaum Muslimin. Mereka mengepung kota Akkra yang tidak dapat direbut selama
berapa bulan. Dalam sejumlah pertempuran terbuka, tentara Salib mengalami
kekalahan dengan meninggalkan korban yang cukup besar.
Sekarang yang harus dihadapi Sultan Shalahuddin ialah berupa
pasukan gabungan dari Eropa. Bala bantuan tentara Salib mengalir ke arah kota suci tanpa
putus-putusnya, dan sungguh pun kekalahan dialami mereka secara bertubi-tubi,
namun demikian tentara Salib ini jumlah semakin besar juga. Kota Akkra yang
dibela tentara Islam berbulan-bulan lamanya menghadapi tentara pilihan dari
Eropa, akhirnya karena kehabisan bahan makanan terpaksa menyerah kepada musuh
dengan syarat yang disetujui bersama secara khidmat, bahwa tidak akan dilakukan
pembunuhan-pembunuhan dan bahwa mereka diharuskan membayar uang tebusan
sejumlah 200.000 emas kepada pimpinan pasukan Salib. Karena kelambatan dalam
suatu penyelesaian uang tebusan ini, Raja Richard Lionheart menyuruh membunuh
kaum Muslimin yang tak berdaya itu dengan dan hati yang dingin di hadapan
pandangan mata saudara sesama kaum Muslimin.
Perilaku Raja Inggris ini tentu saja sangat menusuk perasaan
hati Sultan Shalahuddin. Dia bernadzar untuk menuntut bela atas darah kaum
Muslimin yang tak bersalah itu. Dalam pertempuran yang berkecamuk sepanjang 150
mil garis pantai, Sultan Shalahuddin memberikan pukulan-pukulan yang berat
terhadap tentara Salib.
Akhirnya Raja Inggris yang berhati singa itu mengajukan
permintaan damai yang diterima oleh Sultan. Raja itu merasakan bahwa yang
dihadapinya adalah seorang yang berkemauan baja dan tenaga yang tak terbatas
serta menyadari betapa sia-sianya melanjutkan perjuangan terhadap orang yang
demikian itu. Dalam bulan September 1192 Masehi dibuatlah perjanjian
perdamaian. Tentara Salib itu meninggalkan tanah suci dengan ransel dengan
barang-barangnya kembali menuju Eropa.
"Berakhirlah dengan demikian serbuan tentara Salib
itu" tulis Michaud , di mana gabungan pasukan pilihan dari Barat merebut
kemenangan tidak lebih daripada kejatuhan kota
Akkra dan kehancuran kota
Askalon. Dalam pertempuran itu Jerman kehilangan seorang kaisarnya yang besar
beserta kehancuran tentara pilihannya. Lebih dari enam ratus ribu orang pasukan
Salib mendarat di depan kota
Akkra dan yang kembali pulang ke negerinya tidak lebih dari seratus ribu orang.
Dapatlah dipahami mengapa Eropa dengan penuh kesedihan menerima hasil
perjuangan tentara Salib itu, oleh karena yang turut dalam pertempuran terakhir
adalah tentara pilihan. Bunga kesatria Barat yang menjadi kebanggaan Eropa
telah turut dalam pertempuran ini.
Sultan Shalahuddin mengakhiri sisa-sisa hidupnya dengan
kegiatan-kegiatan bagi kesejahteraan masyarakat dengan membangun rumah sakit,
sekolah-sekolah, perguruan-perguruan tinggi serta masjid-masjid di seluruh
daerah yang diperintahnya.
Tetapi sayang, dia tidaklah ditakdirkan untuk lama merasakan
nikmat perdamaian. Beberapa bulan kemudian dia pulang ke rahmatullah pada
tanggal 4 Maret tahun 1193. "Hari itu merupakan hari musibah besar, yang
belum pernah dirasakan oleh dunia Islam dan kaum Muslimin, semenjak mereka
kehilangan Khulafa Ar-Rasyidin" demikian tulis seorang penulis Islam.
Kalangan Istana seluruh daerah kerajaan berikut seluruh umat Islam tenggelam
dalam lautan duka nestapa. Seluruh isi kota
mengikuti usungan jenazahnya ke kuburan dengan penuh kesedihan dan tangisan.
Demikianlah berakhirnya kehidupan Sultan Shalahuddin,
seorang raja yang sangat dalam perikemanusiaannya dan tak ada tolok bandingannya,
jiwa kepahlawanan yang dimilikinya dalam sejarah kemanusiaan. Dalam pribadinya,
Allah telah melimpahkan hati seorang Muslim yang penuh kasih sayang terhadap
kemanusiaan dicampur dengan sangat harmonis dengan keperkasaan seorang genius
dalam medan pertempuran.
Utusan yang menyampaikan berita kematiannnya itu ke Baghdad membawa serta baju
perangnya, kudanya, uang sebanyak satu dinar dan 36 dirham sebagai milik
pribadinya yang masih ketinggalan. Orang yang hidup satu zaman dengannya, serta
segenap ahli sejarah sama sependapat bahwa Sultan Shalahuddin adalah seorang
yang sangat lemah lembut hatinya, ramah tamah, sabar, seorang sahabat yang baik
dari kaum cendekiawan dan golongan ulama yang diperlakukannya dengan rasa
hormat yang mendalam serta dengan penuh kebajikan. "Di Eropa" tulis
Philip K Hitti, dia telah menyentuh alam khayalan para penyanyi maupun para
penulis novel zaman sekarang, dan masih tetap dinilai sebagai suri teladan kaum
kesatria.
Semoga Allah melapangkan kuburnya.
Pada tanggal 8 Januari 1169 M Sherkoh sampai di Kairo dan
diangkat oleh Khalifah Fathimiyah sebagai Menteri dan Panglima Angkatan Perang
Mesir. Tetapi sayang, Sherkoh tidak ditakdirkan untuk lama menikmati hasil
perjuangannya. Dua bulan setelah pengangkatannya itu, dia berpulang ke
rahmatullah.
Sepeninggal Sherkoh, keponakannya Shalahuddin al-Ayyubi
diangkat jadi Perdana Menteri Mesir. Tak seberapa lama ia telah disenangi oleh
rakyat Mesir karena sifat-sifatnya yang pemurah dan adil bijaksana itu. Pada
saat khalifah berpulang ke rahmatullah, Shalahuddin telah menjadi penguasa yang
sesungguhnya di Mesir.
Di Syria, Nuruddin Mahmud yang termasyhur itu meninggal
dunia pada tahun 1174 Masehi dan digantikan oleh putranya yang berumur 11 tahun
bernama Malikus Saleh. Sultan muda ini diperalat oleh pejabat tinggi yang
mengelilinginya terutama (khususnya) Gumushtagin. Shalahuddin mengirimkan
utusan kepada Malikus Saleh dengan menawarkan jasa baktinya dan ketaatannya.
Shalahuddin bahkan melanjutkan untuk menyebutkan nama raja itu dalam khotbah-khotbah
Jumatnya dan mata uangnya. Tetapi segala macam bentuk perhatian ini tidak
mendapat tanggapan dari raja muda itu berserta segenap pejabat di sekelilingnya
yang penuh ambisi itu. Suasana yang meliputi kerajaan ini sekali lagi memberi
angin kepada tentara Salib, yang selama ini dapat ditahan oleh Nuruddin Mahmud
dan panglimanya yang gagah berani, Jenderal Sherkoh.
Atas nasihat Gumushtagin, Malikus Saleh mengundurkan diri ke
kota Aleppo,
dengan meninggalkan Damaskus diserbu oleh tentara Perancis. Tentara Salib
dengan segera menduduki ibukota kerajaan itu, dan hanya bersedia untuk
menghancurkan kota
itu setelah menerima uang tebusan yang sangat besar. Peristiwa itu menimbulkan
amarah Shalahuddin al-Ayyubi yang segera ke Damaskus dengan suatu pasukan yang
kecil dan merebut kembali kota
itu.
Referensi :
1. Shalahuddin al-Ayyubi, oleh Kwaja Jamil Ahmad (Lihat:
Suara Masjid No. 91, Jumadil Akhir-Rajab 1402 H/April 1982 M)
2. The Preaching of Islam, oleh Thomas W. Arnold.
Catatan:
- "Shalahuddin", kadang ditulis dengan ejaan:
Saladin (biasanya oleh Barat), Sholahuddin, atau Salahuddin.
- Kini, sineas Barat telah membuat film berjudul "Kingdom of Heaven". Film tersebut, terlepas
benar atau tidaknya isi cerita, berkaitan dengan tokoh Shalahuddin ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar