1. Penyakit Brucellosis (Keluron
Menular)
Brucellosis adalah penyakit ternak menular yang secara primer menyerang sapi,
kambing, babi dan sekunder berbagai jenis ternak lainnya serta manusia. Pada
sapi penyakit ini dikenal sebagai penyakit Kluron atau pemyakit Bang. Sedangkan
pada manusia menyebabkan demam yang bersifat undulans dan disevut Demam Malta.
Bruce (1887) telah berhasil mengisolasi jasad renik penyebab dan ditemukan Micrococcus
melitensis yang selanjutnya disebut pula Brucella melitensis.
Terdapat 3 spesies, yaitu Brucella melitensis, yang menyerang pada
kambing, Brucella abortus, yang menyerang pada sapi dan Brucella suis,
yang menyerang pada babi dan sapi.
Kerugian ekonomi yang diakubatkan oleh brucellosis sangat besar, walaupun
mortalitasnya kecil. Pada ternak kerugian dapat berupa kluron, anak ternak yang
dilahirkan lemah, kemudian mati, terjadi gangguan alat-alat reproduksi yang
mengakibatkan kemajiran temporee atau permanen. Kerugian pada sapi perah
berupa turunnya produksi air susu.
Pada kambing, brucellosis hanya memperlihatkan gejala yang samar-samar. Kambing
kadang-kadang mengalami keguguran dalam 4 - 6 minggu terakhir dari kebuntingan.
Kambing jantan dapat memperlihatkan kebengkakan pada persendian atau testes.
Pada sapi gejala penyakit brucellosis yang dapat diamati adalah keguguran,
biasanya terjadi pada kebuntingan 5 - 8 bulan, kadang diikuti dengan kemajiran,
Cairan janin berwarna keruh pada waktu terjadi keguguran, kelenjar air susu
tidak menunjukkan gejala-gejala klinik, walaupun di dalam air susu terdapat
bakteri Brucella, tetapi hal ini merupakan sumber penularan
terhadap manusia. Pada ternak jantan terjadi kebengkakan
pada testes dan persendian lutut.
Selain gejala utama berupa abortus dengan atau tanpa retensio secundinae
(tertahannya plasenta), pada sapi betina dapat mempperlihatkan gejala umum
berupa lesu, napsu makan menurun dan kurus. Disamping itu terdapat pengeluaran
cairan bernanah dari vagina.
Seekor sapi betina setelah keguguran tersebut masih mungkin bunting kembali,
tetapi tingkat kelahirannya akan rendah dan tidak teratur. Kadang-kadang fetus
yang dikandung dapat mencapai tingkatan atau bentuk yang sempurna tetapi pedet
tersebut biasanya labir mati dan plasentanya tetap tertahan (tidak keluar)
serta disertai keadaan metritis (peradangan uterus).
Pada kenyataannya Brusellosis merupakan penyakit ekonomi yang merisaukan
sehingga peternak harus
waspada. Pada ternak betina
bakteri penyebab ditemukan pada uterus, terutama pada endometrium dan pada
ruang diantara kotiledon. Pada plasenta, bakteri dapat ditemukan pada vili,
ruang diantara vili dan membran plasenta yang memperlihatkan warna gelap atau
merah tua. Pada fetus, bakteri Brucella dapat ditemukan dalam paru-paru dan dalam
cairan lambung. Pada pejantan bakteri brucella dapat ditemukan dalam
epydidymis, vas deferens dan dalam kelenjar vesicularis, prostata dan
bulbourethralis. pada infeksi berat bakteri dapat berkembang dalam testes,
khususnya dalam tubuli seminiferi.
Perubahan pasca mati yang terlihat adalah penebalan pada plasenta dengan
bercak-bercak pada permukaan lapisan chorion. cairan janin terlihat keruh
berwarna kuning coklat dan kadang-kadang bercampur nanah. Pada ternak jantan
ditemukan proses pernanahan pada testikelnya yang dapat diikuti dengan nekrose.
Usaha-usaha pencegahan terutama ditujukan kepada vaksinasi dan tindakan
sanitasi dan tata laksana. Tindakan sanitasi yang bisa dilakukan yaitu (1)
sisa-sisa abortusan yang bersifat infeksius dihapushamakan.
Fetus dan plasenta harus dibakar dan vagina apabila
mengeluarkan cairan harus diirigasi selama 1
minggu (2) bahan-bahan yang biasa dipakai didesinfeksi dengan desinfektan, yaitu
: phenol, kresol, amonium kwarterner, biocid dan lisol (3) hindarkan
perkawinan antara pejantan dengan betina yang mengalami kluron. Apabila seekor
ternak pejantan mengawini ternak betina tersebut, maka
penis dan preputium dicuci dengan cairan pencuci hama (4) anak-anak ternak yang
lahir dari induk yang menderita brucellosis sebaiknya diberi susu dari ternak
lain yang bebas brucellosis (5) kandang-kandang ternak penderita dan
peralatannya harus dicuci dan dihapushamakan serta ternak pengganti jangan
segera dimasukkan.
Pengobatan :
Belum ada pengobatan yang efektif terhadap brucellosis.
2. Radang Ambing ( Mastitis)
Mastitis adalah
istilah yang digunakan untuk radang yang terjadi pada ambing, baik bersifat
akut, subakut ataupun kronis, dengan kenaikan sel di dalam air susu dan
perubahan fisik maupun susunan air susu, disertai atau tanpa adanya perubahan
patologis pada kelenjar (Subronto, 2003).
Sori et al (2005) menyatakan bahwa kerugian kasus mastitis antara lain :
kehilangan produksi susu, kualitas dan kuantitas susu berkurang,
banyak sapi dan kambing yang diculling. Penurunan produksi susu per kuartir
bisa mencapai 30% atau 15% per sapi per laktasi, sehingga menjadi permasalahan
besar dalam industri sapi dan kambing perah.
Faktor Penyebab Mastitis
Saat periode
kering adalah saat awal bakteri penyebab mastitis menginfeksi, karena
pada saat itu terjadi hambatan aksi fagositosis dari neutrofil pada ambing.
Berbagai jenis bakteri telah diketahui sebagai agen penyebab penyakit mastitis,
antara lain Streptococcus agalactiae, Str. Disgalactiae, Str. Uberis,
Str.zooepedermicus, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Enterobacter
aerogenees dan Pseudomonas aeroginosa. Dilaporkan juga bahwa yeast dan fungi
juga sering menginfeksi ambing, namun biasanya menyebabkan mastitis subklinis.
Hasil
penelitian di Ethiopia oleh Sori et al (2005) menunjukkan bahwa hasil
pemeriksaan susu dengan metode CMT dari 180 ekor sapi perah lokal Zebu
dan persilangan, prevalensi mastitis mencapai 52,78%, dengan 47 ekor
(16,11%) merupakan mastitis klinis dan 87 ekor (36,67%), merupakan mastitis
subklinis.
Staphylococcus
aureus merupakan salah satu penyebab utama mastitis pada sapi
dan kambing perah yang menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar akibat
turunnya produksi susu. Dilaporkan oleh peneliti yang sama bahwa dari 134
isolat yang diuji, maka persentase terbesar mikroorganisme penyebab mastitis
adalah Staphylococcus aureus.
Disamping
faktor –faktor mikroorganisme yang meliputi berbagai jenis, jumlah dan
virulensinya, faktor ternak dan lingkungannya juga menentukan mudah tidaknya
terjadi radang ambing dalam suatu peternakan. Faktor predisposisi radang ambing
dilihat dari segi ternak, meliputi bentuk ambing, misalnya ambing
yang sangat menggantung, atau ambing dengan lubang puting terlalu lebar.
Bentuk
puting, ada dan tidaknya lesi pada puting mempengaruhi kejadian mastitis. Hasil
penelitian Sori et al (2005) menunjukkan bahwa prevalensi mastitis pada
puting pendulous mencapai 77,78%, sedangkan pada puting non pendulous mencapai
50%. Puting yang lesi memungkinkan prevalensi mastitis sebesar 84%, sedangkan
pada puting normal sebesar 47,74%. Letak kuartir juga mempengaruhi kejadian
mastitis. Kuartir kiri, belakang dan kanan, depan lebih sering mengalami
mastitis daripada kedua puting lainnya. Pada kiri belakang, mastitis
mencapai 34,3%, sedangkan kanan, depan mencapai 30,06%.
Faktor umur dan
tingkat produksi susu sapi juga mempengaruhi kejadian mastitis. Semakin tua
umur sapi dan semakin tinggi produksi susu, maka semakin mengendur pula
spinchter putingnya. Puting dengan spincter yang kendor memungkinkan sapi mudah
terinfekesi oleh mikroorganisme, karena fungsi spinchter adalah menahan infeksi
mikroorganisme. Semakin tinggi produksi susu seekor sapi betina, maka semakin
lama waktu yang diperlukan spinchter untuk menutup sempurna. Faktor bangsa sapi
dan kambing juga mempengaruhi kejadian mastitis. Dilaporkan bahwa kejadian
mastitis pada sapi dan kambing persilangan (Crossbreed) lebih besar
daripada sapi dan kambing lokal.
Faktor
lingkungan dan pengelolaan peternakan yang banyak mempengaruhi terjadinya
radang ambing meliputi pakan, perkandangan, banyaknya sapi/kambing
dalam satu kandang, ventilasi, sanitasi kandang dan cara pemerahan susu.
Dilaporkan bahwa pada ventilasi jelek, mastitis bisa mencapai 87,5% dan pada
ventilasi yang baik mencapai 49,39%.
Gejala-gejala
Secara klinis
radang ambing dapat berlangsung secara akut, subakut dan kronik. Radang
dikatakan bersifat subklinis apabila gejala-gejala klinis radang tidak
ditemukan saat pemeriksaan ambing. Pada proses radang yang bersifat akut,
tanda-tanda radang jelas ditemukan, seperti : kebengkakan ambing, panas saat
diraba, rasa sakit, warna kemerahan dan terganggunya fungsi. Air susu berubah
sifat, menjadi pecah, bercampur endapan atau jonjot fibrin, reruntuhan sel
maupun gumpalan protein. Proses yang berlangsung secara subakut ditandai dengan
gejala sebagaimana di atas, namun derajatnya lebih ringan, ternak masih mau
makan dan suhu tubuh masih dalam batas normal. Proses berlangsung kronis
apabila infeksi dalam suatu ambing berlangsung lama, dari suatu periode laktasi
ke periode berikutnya. Proses kronis biasanya berakhir dengan atropi kelenjar
mammae.
Cara penularan
Penularan mastitis dari seekor sapi/kambing ke sapi/kambing lain dan
dari quarter terinfeksi ke quarter normal bisa melalui tangan pemerah,
kain pembersih, mesin pemerah dan lalat.
Diagnosis
Pengamatan secara klinis adanya peradangan ambing dan puting susu, perubahan
warna air susu yang dihasilkan. Uji lapang dapat dilakukan dengan menggunakan California
Mastitis Test (CMT), yaitu dengan suatu reagen khusus, diagnosis juga
bisa dilakukan dengan Whiteside Test.
Kontrol
Untuk mencegah infeksi baru oleh bakteri penyebab mastitis, maka perlu
beberapa upaya, antara lain (1) meminimalisasi kondisi-kondisi yang mendukung
penyebaran infeksi dari satu sapi ke sapi lain dan kondisi-kondisi yang
memudahkan kontaminasi bakteri dan penetrasi bakteri ke saluran puting. Air
susu pancaran pertama saat pemerahan hendaknya ditampung di strip cup
dan diamati terhadap ada tidaknya mastitis. Perlu pencelupan atau diping puting
dalam biosid 3000 IU (3,3 mililiter/liter air). Penggunaan lap yang berbeda
disarankan untuk setiap ekor sapi/kambing, dan pastikan lap tersebut telah
dicuci dan didesinfektan sebelum digunakan. (2) Pemberian nutrisi yang
berkualitas, sehingga meningkatkan resistensi ternak terhadap infeksi bakteri
penyebab mastitis. Suplementasi vitamin E, A dan β-karoten serta
imbangan antara Co (Cobalt) dan Zn (Seng) perlu diupayakan untuk menekan
kejadian mastitis.
Pengobatan
Pengobatan mastitis sebaiknya menggunakan Lincomycin, Erytromycin dan
Chloramphenicol.
Disinfeksi puting dengan alkohol dan infusi antibiotik intra mamaria bisa
mengatasi mastitis. Injeksi kombinasi penicillin, dihydrostreptomycin,
dexamethasone dan antihistamin dianjurkan juga. Antibiotik akan menekan
pertumbuhan bakteri penyebab mastitis, sedangkan dexamethasone dan antihistamin
akan menurunkan peradangan. Mastitis yang disebabkan oleh Streptococcus sp
masih bisa diatasi dengan penicillin, karena streptococcus sp masih peka terhadap penicillin.
Akibat penggunaan antibiotik pada setiap kasus mastitis, yang mungkin tidak
selalu tepat, maka timbul masalah baru yaitu adanya residu antibiotika dalam
susu, alergi, resistensi serta mempengaruhi pengolahan susu. Mastitis subklinis
yang disebabkan oleh bakteri gram positif juga makin sulit ditangani dengan
antibiotik, karena bakteri ini sudah banyak yang resisten terhadap berbagai
jenis antibiotik.
Selanjutnya Middleton dan Foxt (2001) melaporkan bahwa penggunaan infus
intramammaria dengan 120 ml, 5% Povidone-Iodine (0,5% Iodine)
setelah susu diperah habis pada 7 ekor penderita mastitis akibat Staphylococcus
aureus menunjukkan hasil yang sangat memuaskan, karena 100% (7 ekor)
penderita bisa memproduksi susu kembali pada laktasi berikutnya. Sedangkan
terapi mastitis dengan infus Chlorhexidine, hanya menghasilkan 71% (5
ekor). Sekresi susu dari kuartir yang diberi Iodine tidak mengandung residu
pada pemeriksaan 35 hari post infusi, sedangkan pada infusi dengan
Chlorhexidine ternyata mengandung residu antibiotik.
3. Penyakit Pink Eye.
Pink Eye merupakan penyakit mata akut yang
menular pada sapi, domba maupun kambing, biasanya bersifat epizootik dan
ditandai dengan memerahnya conjunctiva dan kekeruhan mata.
Penyakit ini tidak sampai menimbulkan kematian, akan tetapi dapat menyebabkan
kerugian yang cukup besar bagi peternak, karena akan menyebabkan kebutaan,
penurunan berat badan dan biaya pengobatan yang mahal.
Etiologi
Pink Eye disebabkan oleh bakteri, virus,
rikketsia maupun chlamydia, namun yang paling sering ditemukan adalah akibat
bakteri Maraxella bovis.
Cara Penularan
Mikrorganisme penyebab ditularkan lewat kontak antara ternak peka dengan ternak
penderita atau oleh serangga yang bisa memindahkan mikroorganisme atau bisa
juga lewat iritasi debu atau sumber-sumber lain yang dapat menyebabkan
goresan atau luka mata.
Gejala Klinis
Mata berair, kemerahan pada bagian mata yang putih dan kelopaknya, bengkak pada
kelopak mata dan cenderum menjulingkan mata untuk menghindari sinar matahari.
Selanjutnya selaput bening mata/kornea menjadi keruh dan pembuluh darah tampak
menyilanginya. Kadang-kadang terjadi borok atau lubang pada selaput bening
mata. Borok dapat pecah dan mengakibatkan kebutaan. Mata akan sembuh dalam
waktu 1 – 4 minggu, tergantung kepada penyebabnya dan keganasan penyakitnya.
Pengobatan
Suntikan antibiotik, seperti tetracyclin atau tylosin dan penggunaan salep mata
dapat membantu kesembuhan penyakit. Menempatkan ternak pada tempat yang
teduh atau menempelkan kain di mata dapat mengurangi rasa sakit mata akibat
silaunya matahari.
Pencegahan
Memisahkan ternak yang sakit dari ternak-ternak sehat merupakan cara terbaik
untuk pencegahan terhadap pinx eye. Tidak tersedia vaksin untuk penyakit
ini.
4.Bloat (Kembung Perut/Timpani Ruminal)
Kembung sering dijumpai pada ruminansia, baik pada sapi, kambing maupun domba.
Pada dasarnya kembung disebabkan karena ketidak-mampuan ternak menghilangkan
gas yang dihasilkan oleh rumen. Keadaan tersebut bisa menyebabkan kematian
kalau tidak segera ditangani. Kematian disebabkan oleh tertekannya diafragma
dan paru-paru oleh rumen yang mebesar akibat gas yang berlebihan.
Etiologi
Kembung bisa disebabkan oleh sejenis tanaman untuk pakan ternak. Tanaman yang
sering menyebabkan kembung adalah leguminosa (kacang-kacangan), seperti
kacang tanah, Centrocoma dan alfafa. Tanaman yang masih berumur
muda dan biji-bijian yang diberikan dalam bentuk halus juga bisa menimbulkan
kembung.
Selain faktor pakan, faktor individu ternak juga menentukan kepekaan
terhadap kejadian kembung. Ternak yang dalam keadaan bunting atau dalam kondisi
kurang baik, mungkin juga kekurangan darah dan kelemahan umum cenderung mudah
menderita kembung.
Gejala Klinis
Ternak sebentar-sebentar berbaring dan kemudian berdiri, tampak sempoyongan
dan berjalan ke sana kemari tanpa tujuan, kelihatan bingung. Terlihat sulit
bernapas, sisi tubuh sebelah kiri menggembung/menonjol ke atas dan ke luar,
serta bersuara drum apabila ditepuk. Gerakan rumen biasanya tetap berlangsung
sampai bagian dalam dari mulut dan daerah sekitar mata berubah menjadi
kebiruan. Perubahan ini menunjukkan adanya kekurangan oksigen dan mendekati
kematian.
Pengobatan
Pengobatan secara cepat sangat diperlukan. Paksa ternak untuk berdiri,
posisikan kaki depan lebih tinggi daripada kaki belakang. Mulut dibuka,
sepotong kayu dimasukkan melintang dan pada kedua ujungnya diikiatkan tali.
Kemudian tali tersebut diikatkan ke belakang tanduk agar tidak lepas. Metode
ini sering dikenal dengan sebutan broom stick therapy. Tindakan ini
merangsang pengeluaran air liur dan membantu mengurangi kembung perut.
Selanjutnya pemberian obat atau bahan lain bisa dilakukan. Minyak goreng, minyak
kayu putih atau minyak atsiri yang dicampur air hangat bisa diberikan.
Obat-obatan kimia dengan merek dagang”” tympasol”” untuk kembung berat bisa
diberikan secara per oral. Tympasol berisi zat-zat aktif, antara lain : 4 –
chloro - m – cresol, 4 – chloro – m- xylenon, formaldehid Thymal, Timol,
Dimethyl polysiloksan. Obat lain dengan merek dagang “Antibloat” berisi
dimethicone bisa juga dipakai secara per oral. Obat dengan merek dagang ”Castor
Oil” yang berisi minyak castor digunakan untuk kembung ringan.
Pencegahan
Pada umumnya ternak yang terkena kembung akan kehilangan napsu makan dan
minum, sehingga pengobatan juga akan sulit. Langkah yang paling bijaksana
adalah dengan jalan mewaspadai ternak terkena kembung melalui pengawasan
gejala-gejala kembung dan menejemen pemeliharaan yang lebih baik.
5. Penyakit Parasit Cacing pada
Ruminansia
Walaupun penyakit cacingan tidak langsung menyebabkan kematian, akan tetapi
kerugian dari segi ekonomi dikatakan sangat besar, sehingga penyakit
parasit cacing disebut sebagai penyakit ekonomi. Kerugian-kerugian akibat
penyakit cacing, antara lain : penurunan berat badan, penurunan kualitas
daging, kulit, dan jerohan, penurunan produktivitas ternak sebagai tenaga kerja
pada ternak potong dan kerja, penurunan produksi susu pada ternak perah dan
bahaya penularan pada manusia.
5.1. Fasciolosis
Merupakan penyakit yang disebabkan oleh cacing Fasciola sp. Pada
umumnya yang banyak ditemukan di Indonesia adalah Fasciola gigantica.
Fasciolosis pada kerbau dan sapi biasanya bersifat kronik, sedangkan pada domba
dan kambing dapat bersifat akut. Kerugian akibat fasciolosis ditaksir 20
Milyard rupiah / tahun yang berupa : penurunan berat badan serta tertahannya
pertumbuhan badan, hati yang terbuang dan kematian. Disamping itu kerugian
berupa penurunan tenaga kerja dan daya tahan tubuh ternak terhadap penyakit
lain yang tidak terhitung.
Etiologi
Fasciola sp, hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini
memakan jaringan hati dan darah.
Ternak Rentan
Ternak yang
rentan terhadap Fasciolosis adalah sapi, kerbau, kambing dan ruminansia lain.
Ternak berumur muda lebih rentan daripada ternak dewasa.
Gejala Klinis
Pada Sapi penderita akan mengalami gangguan pencernaan berupa konstipasi atau
sulit defekasi dengan tinja yang kering. Pada keadaan infeksi yang berat sering
kali terjadi mencret, ternak terhambat pertumbuhannya dan terjadi penurunan
produktivitas.
Pada Domba dan
kambing, infeksi bersifat akut, menyebabkan kematian mendadak dengan
darah keluar dari hidung dan anus seperti pada penyakit anthrax. Pada infeksi
yang bersifat kronis, gejala yang terlihat antara lain ternak
malas, tidak gesit, napsu makan menurun, selaput lendir pucat, terjadi busung
(edema) di antara rahang bawah yang disebut “bottle jaw”, bulu kering
dan rontok, perut membesar dan terasa sakit serta ternak kurus dan lemah.
Kelainan Pasca
Mati
Pada
kasus akut akan ditemukan pembendungan dan pembengkakan pada hati, terdapat
ptechie pada permukaan maupun sayatan hati, kantong empedu dan usus mengandung
darah.
Pada
kasus kronis, terlihat saluran empedu menebal dindingnya, mengandung parasit
dan seringkali batu, disamping itu ditemukan pula anemia, kekurusan dan hati
mengeras (sirosis hati).
Diagnosis
Diagnosis
didasarkan pada gejala klinis, identifikasi telur cacing di bawah mikroskop dan
pemeriksaan pasma mati dari ternak yang mati.
Pencegahan
Tindakan pencegahan
yang bisa dilakukan, antara lain memberantas siput secara biologik, misalnya
dengan pemeliharaan itik/bebek, ternak jangan digembalakan di dekat selokan
(genangan air) dan rumput jangan diambil dari daerah sekitar selokan.
Pengobatan
Pengobatan
secara efektif dapat dilakukan dengan pemberian per oral Valbazen yang
mengandung albendazole, dosis pemberian sebesar 10 - 20 mg/kg berat
badan, namun perlu perhatian bahwa obat ini dilarang digunakan pada 1/3 pertama
kebuntingan, karena menyebabkan abortus. Fenbendazole 10 mg/kg berat badanatau
lebih aman pada ternak bunting. Pengobatan dengan Dovenix yang berisi zat aktif
Nitroxinil dirasakan cukup efektif juga untuk trematoda. Dosis pemberian
Dovenix adalah 0,4 ml/kg berat badan dan diberikan secara subkutan.Pengobatan
dilakukan tiga kali setahun.
5.2. Nematodosis
Nematodosis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing Nematoda atau
cacing gilig. Di dalam saluran pencernaan (gastro intestinalis), cacing ini
menghisap sari makanan yang dibutuhkan oleh induk semang, menghisap
darah/cairan tubuh atau bahkan memakan jaringan tubuh. Sejumlah besar cacing
Nematoda dalam usus bisa menyebabkan sumbatan (obstruksi) usus serta
menimbulkan berbagai macam reaksi tubuh sebagai akibat toksin yang dihasilkan.
Pada ternak ruminansia telah diketahui lebih dari 50 jenis spesies,
tetapi hanya beberapa spesies yang mempunyai arti penting secara ekonmis,
antara lain sebagai berikut :
a. Haemonchus contortus
Penyakit yang disebabkan oleh cacing Haemonchus contortus disebut Haemonchosis.
Panjang cacing Haemonchus contortus betina antara 18 – 30 mm dan jantan
sekitar 10 – 20 mm. Pada cacing betina secara makroskopis usus yang berwarna
merah berisi darah saling melilit dengan uterus yang berwarna putih.
Cacing dewasa berlokasi di abomasum domba dan kambing.
Kerugian
Haemonchus adalah cacing penghisap darah, setiap
ekor per hari menghabiskan 0,049 ml darah, sehingga menyebabkan anemia.
Gejala Klinis
Anemia merupakan gejala utama dari infeksi Haemonchus bersamaan
dengan kehilangan darah dan kerusakan usus. Terlihat busung di bawah rahang,
diare, tapi kadang-kadang kambing sudah mati sebelum diare muncul. Gejala lain
yang menonjol, yaitu : penurunan berat badan, pertumbuhan yang jelek dan
penurunan produksi susu.
Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis, identifikasi telur-telur cacing
di bawah mikroskop, serta bedah bangkai pada ternak yang mati juga akan
membantu penetapan diagnosis.
Pencegahan
Tindakan pencegahan yang bisa dilakukan adalah jangan menggembalakan ternak
terlalu pagi, pemotongan rumput sebaiknya dilakukan siang hari, pengobatan
secara teratur dan mengurangi pencemaran tinja terhadap pakan dan air minum.
Pengobatan
Pengobatan yang bisa diberikan berupa kelompok benzilmidazole, antara
lain albendazole dengan dosis 5 – 10 mg/kg berat badan, mebendazole
dengan dosis 13,5 mg/kg berat badan dan thiabendazole dengan dosis 44 –
46 mg/kg berat badan. Albendazole dilarang dipakai pada 1/3 kebuntingan awal.
Mebendazole dan thiabendazole aman untuk ternak bunting, tetapi thiabendazole
sering menyebabkan resistensi.
b.Toxocara
vitulorum (Neoascaris vitulorum)
Cacing Toxocara vitulorum termasuk klas Nematoda yang memiliki kemampuan
lintas hati, paru-paru dan plasenta. Ukuran panjang cacing betina adalah
sebesar 30 cm dan lebar 25 cm, warna kekuning-kuningan dengan telur agak bulat
dab memiliki dinding yang tebal. Habitat cacing adalah pada sapi dan kerbau
serta berlokasi di usus kecil.
Cara
Penularan
Terdapat tiga cara penularan cacing Toxocara
vitulorum, antara lain makan telur, tertelan tanpa sengaja, lewat
plasenta pada saat fetus dan lewat kolustrum pada waktu menyusu induknya.
Gejala
Klinis
Pada anak sapi atau kerbau terjadi diare dan ternak menjadi kurus. Pernah
dilaporkan juga bisa menyebabkan kematian. Anak sapi yang tetap hidup akan
mengalami gangguan pertumbuhan.
Diagnosis
Pemeriksaan telur cacing dalam tinja merupakan cara diagnosis adanya cacing
ini.
Pengobatan
dan pencegahan
Upaya pengobatan cacing ini adalah dengan pemberian piperazin. Pengobatan
secara teratur pada anak sapi dan kambing, menjaga kebersihan kandang merupakan
tindakan pencegahan yang diharuskan.
c. Oesophagostomum
sp.(cacing bungkul)
Cacing bungkul dewasa hidup di dalam usus besar. Disebut cacing bungkul karena
bentuk larva cacing ini dapat menyebabkan bungkul-bungkul di sepanjang usus
besar. Ukuran rata-rata
cacing bungkul dewasa betina antara 13,8 – 19,8 mm dan Jantan antara 11,2 – 14
5 mm. Gejala klinis yang ditemukan antara lain kambing kurus, napsu makan
hilang, pucat, anemia dan kembung. Tinja berwarna hitam, lunak bercampur lendir
atau darah segar.
d. Bunostomum sp (cacing kait)
Lokasi hidup cacing kait adalah di dalam usus halus kambing dan domba. Panjang caing
jantan kira-kira 12 – 17 mm dan betina kira-kira 19 – 26 mm. Dikenal dengan
cacing kait karena pada bagian ujung depan (kepala) cacing membengkok ke atas
sehingga berbentuk seperti kait. Gejala klinis yang bisa diamati antara lain
ternak mengalami anemia, terlihat kurus, kulit kasar, bulu kusam, napsu makan
turun, tubuh lemah. Tinja lunak dengan warna coklat tua. Perlu diketahui bahwa
cacing Bunostomum sp menempel kuat pada dinding usus.
Cacing memakan jaringan tubuh dan darah, sehingga walaupun jumlah cacing hanya
sedikit, namun ternak cepat menunjukkan gejala klinis yang nyata.
e. Trichostrongylus sp (cacing rambut)
Cacing kelompok ini ukurannya sangat
kecil dan hidup di dalam usus halur kambing dan domba. Dinamakan caing rambut
karena tebalnya kurang lebih sama dengan rambut, sedangkan panjangnya kurang
dari 10 mm.
Telur cacing yang keluar bersama tinja akan berkembang menjadi larva
apabila susana di luar, seperti kelembaban, suhu, oksigen cukup menguntungkan
bagi kehidupannya, misalnya adanya tumpukan feses. Pada keadaan tersebut larva
akan berkembang menjadi larva infektif. Di
tempat penggembalaan larva dapat hidup sampai 6 bulan.
Kepekaan ternak terhadap serangan cacing ini tergantung beberapa faktor, antara
lain umur, kualitas pakan, genetik dan pengaruh luar, misalnya pemberian
obat-obatan. Kambing muda dan kualitas pakan yang jelek akan lebih peka
terhadap serangan cacing.
Gejala klinis yang bisa
diamati adalah ternak muda terlihat pertumbuhan terhambat, mencret dengan warna
tinja hijau kehitaman, kurus dan diakhiri kematian.
Ternak bisa tertular cacing ini
dengan cara menelan telur berembrio yang terdapat di rumput-rumputan atau
dengan cara menelan larva infektif atau larva menembus kulit.
Pencegahan
Tindakan pencegahan terhadap
penyakit nematodosis, antara lain berupa pemberian pakan kualitas tinggi
dengan kuantitas yang cukup, menghindarkan berjubelnya ternak dalam satu petak
penggembalaan, memisahkan ternak berdasarkan umur, menghindarkan ternak dari
tempat-tempat becek, selalu memelihara kebersihan kandang dan lingkungan
peternakan dan melakukan pemeriksaan feses dan pengobatan terhadap cacing
secara teratur.
5.3. Cestodosis
Cacing Moniezea merupakan cacing Cestoda yang sering menyerang kambing.
Cacing ini memiliki panjang tubuh bisa mencapai 600 cm dan lebar 1 – 6 cm.
Bentuk cacing pipih, bersegmen dan berwarna putih kekuningan. Cacing ini jarang
menimbulkan masalah, kecuali jika menyerang anak kambing yang sangat muda dan
dalam jumlah yang besar. Tungau digunakan sebagai inang antara bagi cacing.
Siklus Hidup
Cacing pita dewasa hidup dalam usus
kambing dan domba akan melepaskan segmen yang masak bersama tinja, segmen
tersebut pecah dan melepaskan telur . Telur-telur cacing dimakan oleh tungau
tanah yang hidup pada akar tumbuhan. Telur-telur dalam tubuh tungau menetas
menjadi larva. Kambing/domba memakan tungau bersama-sama akar tanaman, seingga
larva akan tertelan dan tumbuh menjadi dewasa di usus.
Gejala Klinis
Gejala yang terlihat pada kambing penderita, antara lain badan kurus,
bulu kusam, selaput mata terlihat pucat, anemis, terdapat gejala edema dan
mencret. Biasanya potongan segmen yang matang keluar bersama tinja atau kadang
menggantung di anus.
Diagnosis
Terlihatnya segmen yang menggantung di anus atau adanya potongan segmen cacing
bersama tinja dan disertai dengan gejala klinis cukup memberikan petunjuk
adanya infeksi cacaing Moniezea pada kambing. Apabila potongan cacing tidak
ditemukan, maka diagnosis didasarkan dengan pemeriksaan telur cacing di
bawah mikroskop.
Pencegahan
Sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan terhadap cacing Moniezea, selain
tindakan pengobatan pada ternak yang sakit, juga harus dilaksanakan
pemberantasan terhadap insekta (serangga) yang dapat digunakan sebagai inang
antara.
Pengobatan
Bisa diberikan preparat obat, antara lain : albendazole, oxfendazole 5 mg/kg
berat badan, cambendazole 20 – 25 mg/kg berat badan, fenbendazole 5 – 10 mg/kg
berat badan atau mebendazole 13,5 mg/kg berat badan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar